Pendekar Sableng


Di siang hari yang membara, sinar matahari seakan mau membakar segala yang ditemuinya, kepulan asap pabrik dan kendaraan semakin menambah panasnya keadaan. Sekitar satu bulan musim kemarau telah berlangsung, tapi kemarau kali ini yang terpanas dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahaya global warming yang selama ini mencemaskan milyaran manusia seakan makin mendekati kenyataan dan tak seorangpun mampu mencegahnya. Peringatan-peringatan yang diberikan Tuhan selama ini seakan tidak dihiraukan kerena manusia terlalu takut kehilangan kesenangan yang telah mereka genggam.

Di pinggir kota bagian selatan terdapat perempatan yang ramai dengan berbagai macam kendaraan yang tidak ada habisnya. Manusia seolah tidak perduli dengan panasnya bumi karena tuntutan hidup yang mengharuskan senantiasa bergerak dengan berbagai kepentingan. Di samping kiri perempatan terdapat sebuah taman kota yang tidak pantas disebut taman. Taman itu hanya terdiri dari beberapa pohon yang lumayan tua dihiasi rumput-rumput gersang dan tumbuhan bunga yang enggan lagi untuk berbunga, mungkin karena malu bunganya tidak bisa lagi membuat indah dunia. Tuhan seakan telah mencabut sebagian besar rahmatnya berupa keindahan karena manusia tidak mau lagi bersyukur dengan rahmat itu, bahkan setiap saat merusaknya.

Di bawah sebuah pohon yang cukup rindang duduk seorang pemuda berpakaian putih kumal yang tidak bisa dikatakan berwarna putih lagi, tapi lebih tepatnya coklat karena tertutup debu dan sudah lama tidak dicuci. Wajah pemuda itu kelihatan sangat menyedihkan kerena tergambar keputusasaan yang dalam. Sesekali dia menggaruk-garuk kepalanya yang dihiasi rambut gondrong lusuh (mungkin seminggu ga mandi kali) dan rambutnya diikat dengan kain putih. Dari raut wajah yang menyedihkan itu tergurat ketampanan dan kekonyolan, tapi tersembunyi pada lapisan debu dan keringat. Penuh kesedihan pemuda itu bergumam perlahan “ Eyang Guru apa yang terjadi dengan ku, dunia ini sangat aneh dan sangat menyesakan. Apakah aku tersesat kelain dunia? Eyang dimana aku ini?”. Sambil bergumam disekanya keringat dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan meraba ke balik baju putihnya dibagian pinggang sebelah kiri, saat itu terlihat dia menggenggam sebuah benda aneh berbentuk kampak bermata dua yang memancarkan warna putih yang menyilaukan terkena pantulan sinar matahari. Pada ujung gagang kampak terdapat ukiran kepala naga, sedangkan pada gagangnya terdapat lubang-lubang kecil seperti lubang seruling. Ternyata pada kampak itu terdapat tulisan tiga angka yaitu 212. Setelah diciumnya sekali, kampak itu kembali dimasukan ke dalam pakainnya. “Apa dosa ku Gusti Allah sampai Engkau mengirimku pada dunia yang aneh ini. Dunia ini sangat panas, sangat sedikit pepohonan, tapi banyak mahluk-mahluk aneh yang dapat berjalan dengan sangat cepat dan mampu mengeluarkan suara yang memekakan telinga. Mungkin mahluk itu memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi karena aku melihat asap keluar dari tubuhnya. Tapi anehnya kenapa manusia di sini sangat dekat dengan mahluk-mahluk itu, bahkan mereka mejadikannya tunggangan”. Pemuda itu terus bergumam sendiri sambil gelang-gelengkan kepala, mungkin dia berharap kebingungannya dapat berkurang.Tiba-tiba dari mulutnya tersungging senyuman dan kemudian dan tertawa terkekeh seakan dia mlihat sesuatu yang lucu. Pemuda itu terus senyum-senyum seolah dia lupa kesedihan yang sejak tadi dirasakannya (Dasar sableng...)

Di tatapnya kendaraan-kendaraan yang lewat, dillihatnya gedung-gedung yang menjulang, dan matanya semakin membesar saat gadis-gadis remaja melewati taman itu sambil bersenda gurau. lama-lama dia merasa kagum dengan dunia barunya, dia merasa mendapatkan sesuatu yang beda dan berfikir luar biasa manusia di dunia itu yang mampu menciptakan benda-benda aneh dan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Terus dia menatap sampai kesedihan yang melandanya tak terasa lagi..
Sahabat,, kadang kita sering merasa sedih dan terasing. Terasa berada tidak dalam dunia kita, merasa apa yang kita dapatkan tidak sesuai. Misalnya, kita memohon dapat kuliah pada suatu prodi di universitas tertentu, tapi setelah masuk kita merasa universitas dan prodi yang kita masuki tidak sesuai dengan kita. Kemudian kita menyalahkan keadaan, menyalahkan orang-orang yang telah membuat kita masuk ke universitas itu.

Sahabat, Sebenarnya dalam hidup yang paling menentukan masa depan adalah diri kita sendiri. Tak ada tempat yang salah, semua adalah jalan yang telah ditentukan oleh Allah dan yang paling terpenting adalah bagaimana kita bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan kita. Kebahagiaan, kesenangan, dan kenyamanan sebenarnya ada dalam hati, tidak berada di luar sana. Tinggal bagaimana kita mau membuat nyaman hati kita sendiri, menahan ego yang membuat kita keukeuh dengan pendapat kita dan tidak mau mengikuti alur disekitar.

Seperti pendekar 212 di atas, dia berada di dunia yang asing baginya yang membuat dia sedih dan bingung. Tetapi, ketika dia mencba tertawa ( dengan kesablengannya) kebingungan dan kesedihannya seolah lenyap. Dia mencoba menikmati lingkungan barunya, melihat keindahan yang selama ini tidak pernah dilihatnya.

So,, jangan pernah melihat dunia hanya dari satu sisi, jangan kukuh dengan pendapat yang kita anggap benar, tapi ikutilah alur yang ada, terima dan pahami pendapat orang lain, buka mata dan hati niscaya keindahan yang tidak pernah kita lihat sebelumnya akan muncul.
Salam 212

0 komentar:

Post a Comment